Mei 03, 2012

NEGERI 5 MENARA: Diantara Bromance, Pesantren, dan Passion

Oleh : Herry Fahrur Rizal



Poster resmi film Negeri 5 Menara; Source: //21cineplex.com


Beberapa bulan terakhir ini CNN mempopulerkan terminologi baru dalam relationship antar sesama dua orang pria yaitu: “Bromance”. Jangan membayangkan ilustrasi “Bromance” seperti yang diperankan Tora Sudiro dan Surya Saputra dalam dua sekuel film Arisan!-nya Nia Dinata atau yang dilakonkan Heath Ledger dan Jake Gyllenhaal dalam film garapan Ang Lee yang memenangkan tiga Academy Award Winner: Best Director, Best Music, dan Best Screenplay; yaitu film Brokeback Mountain. Kendati perilaku “Bromance” memang cenderung menggambarkan “kemesraan” hubungan antar dua orang pria, namun secara seksualitas tendensi orientasi “Bromance” tidak mengarah pada gay-man-relationship. CNN sendiri mengistilahkan “Bromance” sebagai hubungan sangat dekat non-seksual antara dua laki-laki yang heteroseksual.

Bagi Anda yang tergolong movie freak, tentu sudah mengenal beberapa film Hollywood yang menjadikan “bromance” sebagai latar belakang cerita; seperti Wedding Crashers (Vince Vaughn dan Owen Wilson), Superbad (Michael Cera dan Jonah Hill), dan yang terakhir komedi romantis I Love You, Man (Paul Rudd dan Jason Segel). Bahkan selain George Clooney dan Brad Pitt yang popular disebut dengan “Raja-Raja Bromance”, beberapa artis luar negeri lain juga memiliki memiliki pasangan bromance tersendiri, sebutlah: Zach Braff dan Donald Faison (yang dikenal dalam serial Srubs); Mark Wright dan James Arg Argent (bahkan mereka menyebut diri mereka dengan “Marg”); Gary Barlow dan Marcus Collins (menjadi teman dekat setelah bintang Take That ini menjadi mentor Marcus di The X Factor); hingga yang fenomenal karena keunikannya yaitu David Beckham dan James Corden yang dipasangkan pada adegan komedi dalam Sport Relief.




David Beckham & James Corden dalam Sport Relief; Source: //yahoo.com

Salah satu mutiara yang saya temukan dalam film Negeri 5 Menara yaitu konsep nilai-nilai “Bromance” ala pesantren (baca: ukhuwwah), yang indah diaplikasikan secara berjamaah oleh enam anak muda: Sahibul Menara….

*******

Pada Ahad, 15 Januari 2012 saya mengikuti seminar dan workshop menulis novel bersama Helvy Tiana Rosa di Universitas Indonesia. Satu yang terngiang saat beliau memuji bahwa sosok Ahmad Fuadi merupakan Penulis cerdas alumni Gontor (1988-1992) yang menggabungkan konsep novel “Ayat-Ayat Cinta” (Habiburrahman El-Shirazy) dengan setting lingkungan religius serta percintaan; dengan novel “Laskar Pelangi” (Andrea Hirata) yang kondang dengan konsep mimpi besar khas anak daerah, sehingga menjelma novel berjudul: “Negeri 5 Menara”.


Selama menikmati film “Negeri 5 Menara” berdurasi 120 menit di XXI Ciwalk Bandung itu, benak saya seperti terlempar pada kenangan saat masih mondok selama 7 tahun secara formal di pesantren Persatuan Islam No.19 Bentar-Garut, rentang periode 1994-2001. Lalu ditambah 7 tahun lagi secara informal di pesantren Daarut Tauhiid-Bandung rentang periode 2001-2008. Adegan demi adegan ala anak pesantren: dari mulai tinggal di kamar (bahkan tepatnya lagi saya tinggal di “barak”!) yang sederhana, minum bukan dari gelas melainkan piring, antri untuk mendapatkan makanan dengan menu seadanya, jam belajar agama maupun pelajaran umum dengan jadwal ketat, hukuman dari Qismul Amni (Seksi Keamanan) jika melanggar kedisiplinan… sungguh memantik nostalgia saya. Film garapan Million Pictures dan KG Production itu juga sanggup membuat saya kadang menangis rindu ataupun tertawa lepas mengenai keunikan kehidupan khas di asrama seperti yang ditampilkan apik oleh sang Sutradara muda, Affandi Abdul Rachman (32 tahun), pada film religi pertamanya: Negeri 5 Menara.

Film ini sendiri merupakan kisah perjuangan menggapai mimpi di balik persahabatan dan persaudaraan (dalam konsep Islam disebut “Ukhuwwah”) antara seorang Alif Fikri Chaniago (Gazza Zubizzaretha) asal Bukittinggi, Sumatera Barat sebagai pemeran utama dengan kelima teman barunya: Baso Salahuddin (Billy Sandi) asal Gowa, Sulawesi Selatan; Atang Yunus (Rizki Ramdani) asal Bandung, Jawa Barat; Raja Lubis (Jiofani Lubis) dari Medan, Sumatera Utara; Said Jufri (Ernest Samudera) asal Surabaya, Jawa Timur; dan Dulmajid (Aris Adnanda Putra) asal Sumenep, Madura; pada sebuah pesantren modern di sudut kota Ponorogo, Jawa Timur, yang bernama Pondok Madani. Pada adegan-adegan dalam film ini, konsep ukhuwwah berupa ta’aruf (saling mengenali), tafahum (saling memahami), ta’awun (saling menolong), dan takaful (saling memikul beban) sungguh terlihat secara visual.

Kebiasaan mereka yang senantiasa berkumpul di bawah menara sebelah kanan mesjid Jami’ Pondok Madani, membuat teman-teman di pondok menggelari mereka berenam dengan istilah: Sahibul Menara (Orang Yang Memiliki Menara). Satu adegan yang menjadi benang merah, antara pengwujudan mimpi dan menara, sehingga novel dan film dinamai sama-sama “Negeri 5 Menara” adalah: tatkala mereka berimajinasi mengukir mimpi dengan bentuk awan yang mereka lihat di bawah menara berupa visualisasi benua yang akan mereka kunjungi. Jika menilik bukunya, kelak akan didapati pemetaan awan mimpi Alif (Menara 3) yang menggambarkannya seperti Benua Amerika: Baso (Menara 6) dan Atang (Menara 4) yang sama-sama melukiskannya seperti Benua Asia & Afrika; Raja (Menara 2) yang mengilustrasikannya seperti Benua Eropa; Said (Menara 1) dan Dulmajid (Menara 5) yang juga sama-sama mengkhayalkannya seperti Benua Asia alias Indonesia.

Tokoh sentralnya sendiri sebetulnya diperankan oleh Alif yang setelah kelulusannya di Madrasah Tsanawiyyah Negeri Maninjau, bersama Randai (Sakura “Kipli” Ginting)—dalam novel, nama asli Randai adalah Raymond Jeffry—teman sekelas sekaligus sahabatnya, memiliki hasrat (passion) untuk bersama-sama melanjutkan ke SMA Bukittinggi, Sumatera Barat; kemudian diteruskan kuliah di ITB sebagaimana tokoh idola mereka saat itu B.J. Habibie. Namun, Amak (Lulu Tobing) justru menginginkan Alif masuk ke pondok pesantren untuk mendalami ilmu agama agar kelak dewasa menjadi Tokoh Nasional yang bermanfaat bagi banyak orang seperti Buya Hamka.


Disinilah sebetulnya inti cerita yang menggambarkan pergolakan batin seorang Alif dalam mewujudkan passion-nya untuk sukses dengan versi yang dia pahami. Namun, mimpinya itu terkendala dengan harus menuruti permintaan orangtua sebagai bukti baktinya atas nama seorang anak. Semangat pembuktian pepatah “Man Jadda Wajada” (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil) yang pertama kali diperkenalkan Ustadz Salman (Donny Alamsyah) inilah; tervisualisasikan pekat pada setiap adegan film dan alur cerita yang skenarionya digarap segar, modern, menghibur, dengan cerita kuat oleh Salman Aristo sekaligus Produser yang sempat sukses juga di balik skenario film “Ayat-Ayat Cinta”, “Laskar Pelangi”, dan “Garuda di Dadaku”.


Ujian aplikasi “Man Jadda Wajada” masih terus bergejolak di pergolakan batin Alif, saat Baso dengan berat hati memutuskan berhenti sebelum waktunya dari pondok demi merawat keluarga satu-satunya, sang nenek, yang tengah sakit keras. Belum lagi ketika Randai sering mengabari perkembangan sekolahnya yang menyenangkan di SMA demi menuju ITB. Ditambah kepergian Ust Salman, wali kelasnya, meninggalkan pesantren untuk fokus mencari uang di luar pesantren demi persiapan menggenapkan setengah agamanya dengan pernikahan. Sungguh, godaan eksternal itu rentan menggoyahkan pilihan hidup Alif untuk selanjutnya tetap bertahan atau keluar dari pondok demi mewujudkan mimpinya.

Kendati akting keenam pemain baru itu tergolong sukses, kehadiran aktor-aktris Senior pun lebih menghidupkan plot yang terbangun seperti Ikang Fauzi, Inez Tagor, Donny Alamsyah, Lulu Tobing, David Chalik, Andhika Pratama, Mario Irwinsyah, dan Aryo Wahab.

*******

Jika dibenturkan antara novel versus film, dibandingkan “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi” yang lebih baik saya baca novelnya; maka untuk “Negeri 5 Menara” saya lebih baik menonton film-nya. Memang sungguh tidak bijak mengomparasikan sebuah film yang diadaptasi dari novel dengan novelnya itu sendiri. Lantaran baik film maupun novel memiliki dunia interpretasinya masing-masing. Itupun salah satu alasan, mengapa setelah “Ayat-Ayat Cinta” dituang ke dalam bentuk layar lebar; kendati memang resmi mencetak box office dengan total penonton 4 juta orang, tetap saja mengundang kekecewaan bagi sebagian orang karena diluar ekspektasi para pembaca fanatiknya.



Selain hanya karena kecerdikan sang Sutradara yang secara teknik pengambilan gambar, piawai membedakan suasana masa lampau di Maninjau dan masa kini di London, dengan menggunakan 2 jenis kamera yaitu ARRI Alexa serta Canon 7D; Penata Sinematografi pun lihai menangkap rangkaian-rangkaian keindahan panorama alam pedesaan baik di Sumatera maupun Jawa; Detail-detail mengagumkan Art Director dari Eros Eflin untuk meyakinkan penonton akan setting tahun ’80-an yang memang sangat terasa mulai dari kalender, Toyota kijang kotak, Honda CB 100, televisi kotak yang klasik, jas almamater biru ITB (kini hijau lumut), bus Harmonis tua, hingga tokoh-tokoh penting seperti Liem swie king dan Habibie (kendati hanya tampilan auditorial); Termasuk original score dan original soundtrack yang digarap apik oleh Yovie Widianto; sesungguhnya satu hal mencolok yang bagi saya Affandi Abdul Rachman sangat sukses memvisualisasikannya, yaitu penggambaran sisi lain pesantren modern yang utuh.



Tolong bandingkan konsepsi pesantren dalam film “Negeri 5 Menara” dengan konsepsi pesnatren dalam film Perempuan Berkalung Surban yang memang mengusung nilai-nilai feminis sehingga pesantren dicitrakan tak ubahnya penjara pengekang kreativitas. Tolong bandingkan juga dengan konsepsi pesantren ala film Ketika Cinta Bertasbih sekuel 1 hingga 2 yang mengesankan pesantren selain nampak begitu tradisional juga konservatif. Ataupun, sekalipun hanya sekilas, tolong bandingkan pula konsepsi pesantren dalam film Bukan Cinta Biasa sekuel 1 yang digambarkan hanya tempatnya orang-orang “kotor” untuk menyucikan diri. Satu-satunya film ber-setting pesantren yang sedikit banyak sanggup mengimbangi “Negeri 5 Menara” adalah film Baik-Baik Sayang.

Sebagai alumni pondok, saya mengakui bahwa memang aneka model pesantren teramat beragam di Republik Indonesia ini. Mengutip hasil penelitian Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) lebih dari sepuluh tahun yang lalu; bahwa tokoh Alif yang sukses berkarir di dunia international merupakan tipe alumni yang semangat menjadi pegawainya tinggi, punya minat lumayan untuk berdakwah, tapi tipis semangat wiraswastanya (31,8%). Para alumni jenis ini kebanyakan memang berasal dari Pondok Gontor di Ponorogo, Jawa Timur, yang menjadi inspirasi setting Pondok Madani. Nah, Affandi Abdul Rachman sukses menampilkan sisi lain model pesantren yang membebaskan para Santri berkarir sesuai passion-nya masing-masing. Tren karir berbasiskan passion yang kini santer digembor-gemborkan Rene Suhardono dengan bukunya “Your Job Is Not Your Career” dan “Ultimate You”, memang sebuah keniscayaan untuk mencetak pribadi sesukses-suksesnya darimanapun background lembaga sekolahnya. Lagi-lagi, film Negeri 5 Menara sukses menyampaikan pesan pendidikan itu….


Walau tentu saja, film Negeri 5 Menara bukanlah maha karya yang tetap saja memiliki hal-hal yang perlu dipertimbangkan kembali dalam catatan kecil saya. Sebutlah adegan saat Alif dan Randai lulus sekolah dengan mencoret-coret pakaian dengan spidol warna-warni. Apakah kebiasaan jelek itu memang sudah menggejala sejak tahun ’80-an? Kemudian adegan merokok Ayah Alif (David Chalik). Apakah pantas film bermisi pendidikan menggambarkan adegan merokok yang jelas-jelas merusak tubuh itu? Kritik sosial yang Salman Aristo selipkan pada dialog saat Sahibul Menara, diwakili Atang (Rizki Ramdani) sebagai juru bicara, mengeluhkan generator kepada Kyai Rais (Ikang Fauzi) sebagai pimpinan pondok; selain memang di novel adegan tersebut tidak pernah ada, bagi saya terlalu verbalistik dengan statement-nya: “jika berani protes harus bisa memberikan solusi, tidak hanya protes saja!”. Pada adegan bab generator ini pula, Atang memang dimunculkan sebagai karakter kritis bak Politikus. Tapi, entah kenapa, pada adegan selanjutnya, Atang pun multi tasking tak ubahnya Teknisi yang mengepalai proyek perbaikan generator! Kenapa tidak adegan ini dipercayakan pada tokoh Dulmajid (Aris Adnanda Putra) yang menurut saya kurang memiliki andil? Open ending yang dipilih pun menurut saya kurang menggigit untuk sebuah film bermisi “bagaimana-mewujudkan-mimpi”. Kok, nampaknya terlalu mudah seorang Alif tiba-tiba sudah go international, menjadi Jurnalis internasional yang sedang meliput suatu acara United Union (PBB) di London! Saya memang menduga, adegan dramatis jatuh-bangun membangun karir Alif sebagai Jurnalis baru ditampilkan pada sekuelnya “Ranah 3 Warna”. Namun, sekedar penggalan-penggalan pendek perjalanan karirnya sebagai Jurnalis kelas dunia untuk meyakinkan penonton, nampaknya perlu divisualisasikan.

Diatas segala kelebihan dan kekurangannya; Salman Aristo, Affandi Abdul Rachman, dan sederet pemain baru maupun kawakan berhasil mengubah karya tulisan Ahmad Fuadi setebal 405 halaman; menjadi bentuk audio visual berdurasi 120 menit dengan tanpa mengurangi semangat, pesan, dan substansi cerita novel aslinya sehingga menjadi film Negeri 5 Menara yang sangat layak ditonton bersama keluarga tercinta.

Kadang imajinasi saya penasaran, sepertinya setelah “Negeri 5 Menara” di-film-kan, selanjutnya “Ranah 3 Warna”, nampaknya trilogi ini akan diakhiri dengan judul berkomposisi tiga kata dengan kata bilangan ganjil di tengahnya, sebutlah usul iseng saya: “Cinta 1 Hati” (selain konon pada buku ketiga menggambarkan tahap perkembangan Alif dewasa yang sesudah memasuki dunia kerja serta gerbang pernikahan, tentu seorang tokoh Alif ditampilkan Santri yang monogami, tidak berpoligami…).

*******


EPILOG

Tepat sehari setelah Kick Andy Show menayangkan episode “Man Jadda Wajada” yang mengangkat film Negeri 5 Menara pada Jumat, 09-Maret-2012 di Metro TV; saya menghubungi “Bromance” saya yang kini kembali mewaqafkan dirinya di pesantren Gontor setelah empat tahun mengabdi di Daarut Tauhiid (DT)-Bandung selaku Sekretaris Pimpinan K.H. Abdullah Gymnastiar a.k.a Aa Gym. Saat itu saya hanya ingin mengucapkan selamat bahwa Gontor dipilih menjadi salah satu tempat syuting film “Negeri 5 Menara”. Satu yang mengejutkan, “Bromance” saya itu mengabari bahwa dia pun dilibatkan sebagai figuran dalam film tersebut! Kendati dia sempat berseloroh menggerutu, hasil syuting dia dari pagi jam 09:00-16:00 WIB, karena kepentingan editing film; hanya diambil dua detik saja! Ya, jika Anda memperhatikan sosok Ayah Sarah (Eriska Rein) saat adegan keponakan Kyai Rais itu dijemput orangtuanya dari pondok Madani, itulah “Bromance” saya: Ust Nur Salis Al-Amin.


Bromance saya, Ust Salis (KIRI) dan Eriska "Sarah" Rein (KANAN); Source: Dokumentasi Pribadi

Kendati sama-sama lulusan pondok, kami memiliki passion berbeda dalam pilihan karir. Dia sebagai alumni Gontor lebih memilih untuk melakukan khidmat (pengabdian) khususnya di bidang mengajar di pondok pesantren baik itu DT maupun almamaternya, Gontor. Sementara saya sebagai alumni Persis lebih menikmati proses jatuh-bangun meniti karir pada bidang Traning and Development di ibukota sembari terus menekuni dunia menulis. Terakhir, demi mewujudkan mimpi sebagai, mengutip istilah Billy Boen, seorang “Young On Top” (kebetulan sekarang pada saat yang sama juga, Kata Pengantar calon buku perdana saya tengah ditulis oleh beliau); saya memutuskan untuk merintis bisnis di bidang Information Technology.

Sepakat dengan closing statement Gazza Zubizzaretha (Alif) pada Jumat, 23-Maret-2012 beserta Ernest Samudera (Said) dan Rizki Ramdani (Atang) ketika diundang oleh STV Bandung, membahas film “Negeri 5 Menara”, saat mengakhiri talk show “I Love Bandung Life Style”:


“Pesantren bukan tempat yang melahirkan Teroris, tapi orang sukses…”.


SEKIAN