Juni 11, 2013

Ika dan Mawar di Bulan Juni

EMBUN menggelinangi pohon-pohon mawar di depan rumah Ika. Pagi pertama saat kelopaknya merekah, gadis itu sudah menghitung masa sepekan saatnya memanen wangi harumnya. “Nduk…itu sudah mekar mawarnya,” seru ibu Ika sembari membuka pagar pintu rumah mereka

Warna merahnya pas berpadu dengan beningnya air. Dilatarbelakangi langit jingga subuh. Ika seperti melihat keajaiban dari pinggir jendela kamarnya. Si Rosaceae ini selalu memikat hatinya, memekatkan sel abu-abu di otaknya untuk berpikir tentang cinta, cinta, dan cinta usai dihirup.

Terlahir sebagai anak tunggal, cinta ayah dan ibu Ika memang tercurah hanya buat putrinya. Mulai dari bayi, kanak-kanak, remaja, dan kini berstatus mahasiswi, Ika masih menjadi nomor satu di mata orangtuanya. Pantang untuk ditolak keinginan hatinya.
“Ibu, aku mau merangkainya di vas baru. Beli yuk di Pasar Tanjung yang agak gedean. Panen mawarnya banyak banget!”seru Ika.

“Kamu pintar merawatnya, Nduk, jadi mawarnya senang lalu mekar semua,” puji si ibu. Mereka tertawa bersama diliputi ekstasi bau mawar meruapkan bahagia.
++++

Suatu sore Ika merasa ada yang janggal sepulang kuliah. Tapi dia tidak menyadarinya. Sesampai di rumah dia ingin menanyakan tugas dengan menelepon temannya. Segenggam handphone tidak terlihat di dalam tas jinjingnya.
“Bapak, miscall hapeku dong. Kok, nggak ada ya di tas,” tanya Ika.
“Pasti kelupaan lagi naruhnya,” jawab bapak Ika sembari memencet keypad hapenya.

Suara ringtone lagu Westlife sama sekali tidak terdengar. Bapak pun mulai dilanda cemas pula. Yang keluar dari mulutnya serupa ucapan menenangkan hati sang anak. Ika dilanda gundah gulana.

“Kalau masih rezeki, ya nanti ketemu lagi, Nduk,” ujar si Bapak sambil mengelus rambut anaknya. Ika tidak menyahut. Wajahnya manyun. Matanya menatap rangkaian mawar di pojok meja. Hatinya meluruh ikhlas sesaat setelah melihat si merah hati.
++

Selang dua hari kemudian, dua sahabat Ika berkunjung. Lita dan Gesti bukan lagi sekadar sahabat, layaknya mereka disebut saudara kandung karena ada saat suka serta duka si anak tunggal itu.
“Gimana sudah ketemu hapenya?” ujar Lita.
“Belum nih, pengen beli lagi belum ada duit,” jelas Ika.
“Ya sudah, biasanya kalau kehilangan sesuatu, Insya Allah dapat ganti yang lebih baik,” imbuh Gesti.

“Wah aku maunya dapat calon suami kalau gitu. Yang baik hati, rajin, tidak sombong, rajin menabung,” gurau Ika.

Segera timpukan bantal menghujani badan langsing Ika. Tawa cekikikan memecah di ruang tamu rumah sederhana itu. Sayup-sayup hidung tiga gadis ini dimanjakan aromaterapi alami dari bunga mawar di seberang tempat mereka duduk. Harumnya melekatkan hati satu sama lain.
+++

Klik..klik..tangan Ika tangkas mengklik toolbar media sosial Facebook. Dia melihat sejumlah permintaan pertemanan. Beberapa dia tunda karena sama sekali tidak mengenal wajah di foto-foto bergaya narsis itu. Hei..matanya lekat di salah satu permintaan pertemanan. Akunnya bernama Ajuniarto. Link teman-teman yang sama mencapai 50 lebih. Siapa dia?

Upps, profilnya terkunci tidak bisa dibuka orang yang belum jadi temannya. Rasa penasaran Ika makin membuncah karena dua sahabatnya sudah menjadi teman si pria bertampang sendu itu. Pernah bertemukah aku? Ika membatin.

Otak, perasaan, dan tangan Ika rupanya sinkron. Jadilah mereka teman di dunia maya. Ternyata teman barunya online pula. Tanpa ragu disapanya. “Assalamualaikum, salam kenal mas Ajuniarto. Enaknya dipanggil siapa ya?”

“Waalaikumsalam. Juni saja. Terima kasih ya sudah di-approve.”
“Iya soalnya Mas berteman dengan dua sobatku, Lita dan Gesti. Kok kenal mereka?”
“Kita teman SMP.”
“Loo, kalau begitu seangkatan dong sama aku.”
“Iya..”

Percakapan tiba-tiba terhenti karena sinyal Facebook si pria terputus. Kalimat Ika selanjutnya hanya terkirim sebagai sebuah pesan saja di inbox teman barunya. Tidak mengapa, pikirnya, pasti kapan-kapan bisa chatting lagi.

Tiba-tiba di benak Ika melintas keinginan mengganti foto profilnya dengan koleksi foto mawar merahnya. Dia pilih bidikan gambarnya berupa setangkai mawar dikelilingi putihnya salju. Cukup syahdu dan melumerkan hatinya.
++++

Esoknya ada sebuah nomor telepon mengirimkan SMS pada Ika. Wah, rupanya si kenalan baru itu menyapanya. Meski agak dongkol karena Juni terkesan coba-coba dengan nekad mencatat nomor di profil FB-nya, Ika tetap berbaik sangka. Apalagi pria yang sebaya dengannya itu sedang kuliah di Surabaya. Tak perlulah Ika merasa terganggu bila saja tiba-tiba Juni berbuat lebih jauh. Balasannya hanya datar saja. Waalaikumsalam, terima kasih.

Kaki Ika menjejak di tanah kering bulan Juni. Tekadnya tetap kukuh berangkat kuliah meski terik mentari juga bersikeras menerpa kulit langsatnya. Tiba-tiba saja telepon genggam baru hadiah dari sang ayah berdering. Matanya mendelik melihat layar. Si pria kenalan absurdnya menelepon.

“Ada apa, Mas?” Ika mengangkat telepon dengan hati gondok.
“Sedang di mana?” tanya Juni.
“Habis kuliah di kampus. Sudah dulu ya, pengen cepat pulang nih!”
“Kalau boleh saya jemput di kampus.”

Hati Ika serasa diguyur minyak panas mendengar permintaan itu. Segera ia tutup pembicaraan itu dengan mencegat angkot. Yang tidak disangka-sangka, kepulangannya justru membawa kejutan lebih dahsyat.

“Nduk, tadi ada temanmu telepon ke rumah,” ujar Ibu.
“Siapa ya, Bu?” respons Ika sambil bersiap-siap mengganti kerudungnya pertanda segera beranjak ke sekolah tempatnya mengajar.

“Dari suaranya kelihatannya sopan anaknya. Pakai bahasa Jawa halus, Jun..Jun.., begitu sepertinya.”
Tangan Ika berhenti merapikan jarum pentul. “Mau apa dia, Bu?” kata Ika.
“Mau ke rumah kita. Sekarang di perjalanan.”
“Bu, bilang saja aku nggak ada ya, sibuk,” tegas Ika sembari menyambar tasnya.

Tok..tok..Pintu depan rumah sederhana Ika diketuk pelan. Belum sempat Ika kabur, Ibu bergegas membukakan. Dia melihat seorang pria berusia sekitar 23 tahun di depannya. Hanya selarik kaos lusuh disanding dengan celana jeans belel dan sandal jepit tipis membalut si pria.

Entah mengapa Ibu percaya saja dan mempersilakan si pria dengan tas kertas coklat di tangannya itu masuk. Segelas teh hangat bahkan disuguhkan di hadapannya. Dada Ika yang tengah berada di kamar terasa ditusuk-tusuk sembilu, telapak tangannya mendingin. Spons bedaknya sudah menggeletak di kasurnya, tak jadi memulas wajah.

Dugaannya salah, pria itu tidak sepolos wajahnya. Bahkan superekstrim nekadnya untuk berkenalan. Ah, karakter seperti ini tidak ditemuinya di seluruh literatur psikologi yang dipelajarinya. Bagaimana menanggapi orang semacam dia?
+++++

Dua tangkai mawar merah di gelas kecil itu menyebarkan wangi eksotisnya. Dini hari ini istimewa. Pria ekstrim itu masih menyesap kantuknya. Ika mau, sang pria merasakan keekstriman serupa yang ia terima sekira tiga tahun lalu. Menggiring egonya ke pinggiran hati dengan sekepal mawar merah dalam kertas coklat. Merah..wangi..merah..kemudian sejuk di hatinya kala itu.
Telapak tangan sang pria dikecupnya. Berterima kasih atas kenekatannya dulu menunjukkan kecintaan penuh dalam kesahajaan. Mata si pria mengerjap-ngerjap. Dielusnya kepala Ika. “Kenapa, Nduk? Ini masih tengah malam deh.”
“Ini sudah  bulan Juni, Nda. Bulan kita.”

Juni membalas pernyataan Ika dengan senyuman. “Terus kenapa?” ujarnya menggoda.
“Mawar ini saksinya. Juni kita terlahir hanya selisih sehari, 7 dan 8 Juni. Juni kita terpaut dan Juni pula bibit mawar merah kita dihembuskan ruhnya,” jawab Ika sambil mengelus perutnya.

“Mulai deh, lebay-nya.” Juni mulai meringis nakal.
“Pokoknya, it’s my June. Mari kita rayakan bersama mawar-mawar merahku karena cinta telah cukup untuk cinta.”

Hati kedua insan ini pun bertaut dalam lintasan mawar bulan Juni. Menuai musim-musim semi berikutnya yang tak pernah berkesudahan bersama bibit-bibit berikutnya yang siap menggantikan batang rapuh.

Buat pasutri Faiq n Juni + Debay
Happy June

Oleh Indah Wulandari