EMBUN menggelinangi pohon-pohon mawar di depan rumah
Ika. Pagi pertama saat kelopaknya merekah, gadis itu sudah menghitung
masa sepekan saatnya memanen wangi harumnya. “Nduk…itu sudah mekar
mawarnya,” seru ibu Ika sembari membuka pagar pintu rumah mereka
Warna merahnya pas berpadu dengan beningnya air. Dilatarbelakangi langit
jingga subuh. Ika seperti melihat keajaiban dari pinggir jendela
kamarnya. Si Rosaceae ini selalu memikat hatinya, memekatkan sel abu-abu
di otaknya untuk berpikir tentang cinta, cinta, dan cinta usai dihirup.
Terlahir sebagai anak tunggal, cinta ayah dan ibu Ika memang tercurah
hanya buat putrinya. Mulai dari bayi, kanak-kanak, remaja, dan kini
berstatus mahasiswi, Ika masih menjadi nomor satu di mata orangtuanya.
Pantang untuk ditolak keinginan hatinya.
“Ibu, aku mau merangkainya di vas baru. Beli yuk di Pasar Tanjung yang agak gedean. Panen mawarnya banyak banget!”seru Ika.
“Kamu pintar merawatnya, Nduk, jadi mawarnya senang lalu mekar semua,”
puji si ibu. Mereka tertawa bersama diliputi ekstasi bau mawar meruapkan
bahagia.
++++
Suatu sore Ika merasa ada yang janggal sepulang kuliah. Tapi dia tidak
menyadarinya. Sesampai di rumah dia ingin menanyakan tugas dengan
menelepon temannya. Segenggam handphone tidak terlihat di dalam tas
jinjingnya.
“Bapak, miscall hapeku dong. Kok, nggak ada ya di tas,” tanya Ika.
“Pasti kelupaan lagi naruhnya,” jawab bapak Ika sembari memencet keypad hapenya.
Suara ringtone lagu Westlife sama sekali tidak terdengar. Bapak
pun mulai dilanda cemas pula. Yang keluar dari mulutnya serupa ucapan
menenangkan hati sang anak. Ika dilanda gundah gulana.
“Kalau masih rezeki, ya nanti ketemu lagi, Nduk,” ujar si Bapak sambil
mengelus rambut anaknya. Ika tidak menyahut. Wajahnya manyun. Matanya
menatap rangkaian mawar di pojok meja. Hatinya meluruh ikhlas sesaat
setelah melihat si merah hati.
++
Selang dua hari kemudian, dua sahabat Ika berkunjung. Lita dan Gesti
bukan lagi sekadar sahabat, layaknya mereka disebut saudara kandung
karena ada saat suka serta duka si anak tunggal itu.
“Gimana sudah ketemu hapenya?” ujar Lita.
“Belum nih, pengen beli lagi belum ada duit,” jelas Ika.
“Ya sudah, biasanya kalau kehilangan sesuatu, Insya Allah dapat ganti yang lebih baik,” imbuh Gesti.
“Wah aku maunya dapat calon suami kalau gitu. Yang baik hati, rajin, tidak sombong, rajin menabung,” gurau Ika.
Segera timpukan bantal menghujani badan langsing Ika. Tawa cekikikan
memecah di ruang tamu rumah sederhana itu. Sayup-sayup hidung tiga gadis
ini dimanjakan aromaterapi alami dari bunga mawar di seberang tempat
mereka duduk. Harumnya melekatkan hati satu sama lain.
+++
Klik..klik..tangan Ika tangkas mengklik toolbar media sosial Facebook.
Dia melihat sejumlah permintaan pertemanan. Beberapa dia tunda karena
sama sekali tidak mengenal wajah di foto-foto bergaya narsis itu.
Hei..matanya lekat di salah satu permintaan pertemanan. Akunnya bernama
Ajuniarto. Link teman-teman yang sama mencapai 50 lebih. Siapa dia?
Upps, profilnya terkunci tidak bisa dibuka orang yang belum jadi
temannya. Rasa penasaran Ika makin membuncah karena dua sahabatnya sudah
menjadi teman si pria bertampang sendu itu. Pernah bertemukah aku? Ika
membatin.
Otak, perasaan, dan tangan Ika rupanya sinkron. Jadilah mereka teman di
dunia maya. Ternyata teman barunya online pula. Tanpa ragu disapanya.
“Assalamualaikum, salam kenal mas Ajuniarto. Enaknya dipanggil siapa
ya?”
“Waalaikumsalam. Juni saja. Terima kasih ya sudah di-approve.”
“Iya soalnya Mas berteman dengan dua sobatku, Lita dan Gesti. Kok kenal mereka?”
“Kita teman SMP.”
“Loo, kalau begitu seangkatan dong sama aku.”
“Iya..”
Percakapan tiba-tiba terhenti karena sinyal Facebook si pria terputus.
Kalimat Ika selanjutnya hanya terkirim sebagai sebuah pesan saja di inbox teman barunya. Tidak mengapa, pikirnya, pasti kapan-kapan bisa chatting lagi.
Tiba-tiba di benak Ika melintas keinginan mengganti foto profilnya
dengan koleksi foto mawar merahnya. Dia pilih bidikan gambarnya berupa
setangkai mawar dikelilingi putihnya salju. Cukup syahdu dan melumerkan
hatinya.
++++
Esoknya ada sebuah nomor telepon mengirimkan SMS pada Ika. Wah, rupanya
si kenalan baru itu menyapanya. Meski agak dongkol karena Juni terkesan
coba-coba dengan nekad mencatat nomor di profil FB-nya, Ika tetap
berbaik sangka. Apalagi pria yang sebaya dengannya itu sedang kuliah di
Surabaya. Tak perlulah Ika merasa terganggu bila saja tiba-tiba Juni
berbuat lebih jauh. Balasannya hanya datar saja. Waalaikumsalam, terima
kasih.
Kaki Ika menjejak di tanah kering bulan Juni. Tekadnya tetap kukuh
berangkat kuliah meski terik mentari juga bersikeras menerpa kulit
langsatnya. Tiba-tiba saja telepon genggam baru hadiah dari sang ayah
berdering. Matanya mendelik melihat layar. Si pria kenalan absurdnya
menelepon.
“Ada apa, Mas?” Ika mengangkat telepon dengan hati gondok.
“Sedang di mana?” tanya Juni.
“Habis kuliah di kampus. Sudah dulu ya, pengen cepat pulang nih!”
“Kalau boleh saya jemput di kampus.”
Hati Ika serasa diguyur minyak panas mendengar permintaan itu. Segera ia
tutup pembicaraan itu dengan mencegat angkot. Yang tidak
disangka-sangka, kepulangannya justru membawa kejutan lebih dahsyat.
“Nduk, tadi ada temanmu telepon ke rumah,” ujar Ibu.
“Siapa ya, Bu?” respons Ika sambil bersiap-siap mengganti kerudungnya pertanda segera beranjak ke sekolah tempatnya mengajar.
“Dari suaranya kelihatannya sopan anaknya. Pakai bahasa Jawa halus, Jun..Jun.., begitu sepertinya.”
Tangan Ika berhenti merapikan jarum pentul. “Mau apa dia, Bu?” kata Ika.
“Mau ke rumah kita. Sekarang di perjalanan.”
“Bu, bilang saja aku nggak ada ya, sibuk,” tegas Ika sembari menyambar tasnya.
Tok..tok..Pintu depan rumah sederhana Ika diketuk pelan. Belum sempat
Ika kabur, Ibu bergegas membukakan. Dia melihat seorang pria berusia
sekitar 23 tahun di depannya. Hanya selarik kaos lusuh disanding dengan
celana jeans belel dan sandal jepit tipis membalut si pria.
Entah mengapa Ibu percaya saja dan mempersilakan si pria dengan tas
kertas coklat di tangannya itu masuk. Segelas teh hangat bahkan
disuguhkan di hadapannya. Dada Ika yang tengah berada di kamar terasa
ditusuk-tusuk sembilu, telapak tangannya mendingin. Spons bedaknya sudah
menggeletak di kasurnya, tak jadi memulas wajah.
Dugaannya salah, pria itu tidak sepolos wajahnya. Bahkan superekstrim
nekadnya untuk berkenalan. Ah, karakter seperti ini tidak ditemuinya di
seluruh literatur psikologi yang dipelajarinya. Bagaimana menanggapi
orang semacam dia?
+++++
Dua tangkai mawar merah di gelas kecil itu menyebarkan wangi eksotisnya.
Dini hari ini istimewa. Pria ekstrim itu masih menyesap kantuknya. Ika
mau, sang pria merasakan keekstriman serupa yang ia terima sekira tiga
tahun lalu. Menggiring egonya ke pinggiran hati dengan sekepal mawar
merah dalam kertas coklat. Merah..wangi..merah..kemudian sejuk di
hatinya kala itu.
Telapak tangan sang pria dikecupnya. Berterima kasih atas kenekatannya
dulu menunjukkan kecintaan penuh dalam kesahajaan. Mata si pria
mengerjap-ngerjap. Dielusnya kepala Ika. “Kenapa, Nduk? Ini masih tengah
malam deh.”
“Ini sudah bulan Juni, Nda. Bulan kita.”
Juni membalas pernyataan Ika dengan senyuman. “Terus kenapa?” ujarnya menggoda.
“Mawar ini saksinya. Juni kita terlahir hanya selisih sehari, 7 dan 8
Juni. Juni kita terpaut dan Juni pula bibit mawar merah kita dihembuskan
ruhnya,” jawab Ika sambil mengelus perutnya.
“Mulai deh, lebay-nya.” Juni mulai meringis nakal.
“Pokoknya, it’s my June. Mari kita rayakan bersama mawar-mawar merahku karena cinta telah cukup untuk cinta.”
Hati kedua insan ini pun bertaut dalam lintasan mawar bulan Juni. Menuai
musim-musim semi berikutnya yang tak pernah berkesudahan bersama
bibit-bibit berikutnya yang siap menggantikan batang rapuh.
Buat pasutri Faiq n Juni + Debay
Happy June
Oleh Indah Wulandari