Juni 09, 2013

Film Sang Kiai: Pesan Cinta dan Kemerdekaan dari Pesantren

Mulai tanggal 30 Mei 2013 dunia perfilman Indonesia akan kembali merelease sebuah film drama kolosal yang di adaptasi dari kisah nyata tokoh sekaligus pahlawan nasional, yakni Hadaratussyaikh (Maha guru) KH Hasyim Asy'ari.

Bagi kalangan umat Islam Indonesia, sosok KH Hasyim As'ari tentunya tidak asing lagi. KH Hasyim Asy'ari dimasanya tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama atau kyai pimpinan pondok pesantren Tebu Ireng semata. Dimasa pergolakan jelang kemerdekaan Republik Indonesia, merupakan masa- masa kritis yang dihadapi oleh segenap stakeholder bangsa, termasuk para ulama masa itu yang di antaranya KH Hasyim As'ari.

Di masa penjajahan, ulama dan para pengikutnya (santri), tidak hanya konsentrasi pada pendalaman nilai dan aktivitas spiritual semata. Namun lebih dari itu, kondisi bangsa yang harus merdeka dari penjajahan juga tak luput dari perhatian dan aktivitas gerakan para ulama dan santri dimasa itu. Perlu untuk diketahui, system dan model pendidikan "pesantren" merupakan original activation study bangsa Indonesia dan merupakan satu-satunya di dunia.



Begitulah film "Sang Kiai" memulai cerita dan settingnya. Sebuah gambaran tentang pesantren yang sederhana dan humanis, menjadi visual opening dalam film tersebut. Masyarakat Dusun Tebu Ireng Cukir, Kabupaten Jombang, Jawa Timur tempat dimana KH Hasyim Asy'ari bermukim sekaligus membina para santri dan semua golongan masyarakat setempat.

Sempat diceritakan dalam film Sang Kiai tersebut, dimana pesantren tidak mematok biaya bagi semua golongan masyarakat yang hendak mendaftarkan anaknya untuk belajar di pesantren. Meski seorang kaya raya datang dan menyerahkan hasil panen yang melimpah kepada pesantren sebagai biaya masuk pendidikan pesantren anaknya, KH Hasyim Asy'ari juga menerima seorang anak dari keluarga tidak mampu yang diantarkan ayahnya untuk belajar dipesanteren Tebu Ireng tersebut.

"Sang Kiai" Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari tidak hanya cerdas dan pintar mengelola pesantren, guna mememnuhi kebutuhan sandang- pangan keluarga dan para santri yang "nyantren" di Tebu Ireng, KH Hasyim Asy'ari juga aktif sebagai petani, bercocok tanam buah- buahan dan sayurmayur. Dengan demikian, komunitas pesantren bisa tetap independent dan tidak bergantung pada kelompk kekuasaan manapun. Fenomena ini mungkin sudah jarang ditemukan pada pesantren- pesantren zaman ini yang "biasanya" sudah terafiliasi dengan kelompok politik karena pesantren memiliki basis massa yang rill.

Namun siapa sangka, dari sebuah tradisi pesantren yang sederhana namun memiliki basis yang sangat kuat dimasyarakat itu, sebuah aktifitas menuju gerakan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia 1945 lahir dan dirancang. Tak ayal, penjajah baik Jepang maupun Belanda- sekutu, berupaya keras menyingkirkan para ulama yang memiliki basis pesantren.

Dalam film "Sang Kiai" yang disutradarai Rako Prijanto ini, setting konflik dimulai pada rentang waktu tahun 1942- 1943 saat jelang detik- detik akhir kemerdekaan Republik Indonesia sebelum kedatangan tentara sekutu. Saat itu penjajahan Jepang masih berkuasa di Indonesia dan berambisi memenangkan perang Asia timur raya guna menjadi penguasa Asia. Satu- persatu ulama pimpinan pondok pesantren dihampir seluruh pulau Jawa diculik dan siksa, bahkan tak jarang diantaranya ada yang dihukum pancung hingga mininggal.

Secara utuh, Film "Sang Kiai" sesungguhnya mencoba menampilkan sosok KH Hasyim Asy'ari yang hidup pada dua rezim penjajahan, yakni Jepang dan Belanda- Sekutu. Sebagai sebuah film drama kolosal yang melibatkan 5000 talent lebih, setting lokasi, artistik, visual efect pertempuran yang disajikan sungguh menarik. Lebih menarik lagi, jika menyimak bagaimana penulis skenario dan sutradara mampu menyajikan sisi universal "Sang Kiai".

"Sang Kiai" menampilkan sosok KH Hasyim Asy'ari tidak melulu sebagai tokoh spiritual pimpinan ormas Islam Nahdlatul Ulama terbesar di Indonesia semata, malah sisi tersebut bisa dibilang hanya ditampilkan 5% saja dari keutuhan cerita. Lebih dari itu, film "Sang Kiai" mengeksplore sisi- sisi Universalisme, Nasionaliseme dan Humanisme seorang ulama. Universal, karena perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang digagas oleh para Ulama dan santrinya merupakan kepentingan segenap rakyat Indonesia, baik itu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lainya.

Sementara Nasionalisme "Sang Kiai" tergambar jelas pada adegan, saat Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari didatangi utusan Soekarno untuk menyampaikan sebuah pesan pertanyaan, ‘Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah ? ’, dengan sigap KH Hasyim Asy’ari menjawab; “Hukum membela negara dan melawan penajajah adalah fardu ain (Dalam Islam, Fardu Ain berarti kewajiban yang harus dan tunggal, tidak dapat diwakilkan). Humanisme, karena sosok "Sang Kiai" ditampilkan sebagai orang yang tidak memandang sesuatu apapun berdasarkan kelas dan pangkatnya.

Bahkan pada satu adegan, Sang Kyai tidak segan- segan memerintahkan putra sulung dan bungsunya untuk ikut berperang melawan penjajah, sama seperti yang dilakukan tentara- tentara kemerdekaan lainya. "Sang Kiai", juga tidak lantas memarahi salah seorang murid laki- lakinya karena menyukai seorang perempuan yang mereka temui dipasar, bahkan Sang Kiai menawarkan diri kepada muridnya tersebut untuk segera menemui ayah sang gadis agar segera dinikahkan untuk muridnya tersebut.

Dalam film Sang Kiai ini pun disajikan berbagai makna cinta dalam ceritanya. Cinta Sang Kiai pada Bangsa dan agamanya dan Cinta Sang Istri pada suaminya yang berjuang merebut kemerdekaan. Sekali, lagi Sang Kiai berhasil membuat film ini menjadi Universal dan Humanis, sehingga layak dinikmati oleh semua kalangan. Karena biasanya, film yang mengadaptasi cerita tokoh kelompok tertentu, cenderung terjebak pada tema- tema tokoh ekslusive yang sekterian, sehingga film yang merupakan karya seni bebas nilai menjadi eksclusive bagi kalangan tertentu saja. (Abdul Sutara/KW)