JAKARTA, KOMPAS — Islam Nusantara sebagai pengejawantahan Islam yang damai, toleran, dan mengakomodasi budaya serta kearifan lokal ditawarkan sebagai wawasan baru di dunia Islam. Islam Nusantara dapat menjadi solusi penyelesaian konflik, ataupun referensi bagi dunia Islam untuk mewujudkan tatanan dunia yang damai dan toleran.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj, yang menutup konferensi, berharap acara itu ditindaklanjuti dengan aksi nyata oleh NU dan para peserta konferensi.
PBNU merumuskan Deklarasi Jakarta Nahdlatul Ulama yang terbagi dalam dua pokok pemikiran, yakni tentang Islam Nusantara dan sikap NU mengenai perkembangan dunia Islam.
Pokok pemikiran pertama menekankan, Islam Nusantara bukan mazhab atau sekte baru di dalam Islam. Islam Nusantara adalah Islam yang berkembang secara alami di Indonesia dengan mengedepankan harmoni dan perdamaian, serta mengakomodasi kearifan dan budaya lokal.
Konsep Islam Nusantara tidak dimaksudkan untuk mendikte pemahaman Islam di negara lain, tetapi lebih sebagai tawaran wawasan dan pengalaman dari dunia Islam di Indonesia. Islam Nusantara diusulkan sebagai paradigma berpikir yang layak diteladani karena mengajarkan tawassuth (jalan moderat), tawaazun (harmoni), tasaamuh (kelemahlembutan), dan i’tidaal (keadilan). Dalam bernegara, konsep Islam Nusantara tidak mempertentangkan antara agama dan kebangsaan, serta tidak menggalang pemeluknya menaklukkan dunia, tetapi mewujudkan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam.
Sikap
”Islam Nusantara melebur bersama dengan budaya, tradisi di Nusantara, dan bersinergi dengan nasionalisme. Islam Nusantara ternyata mendapatkan sambutan positif peserta konferensi, sekalipun kemarin (dalam pembukaan) saya mengatakan dengan keras bahwa problem utama negara-negara Timteng yang berkonflik selama ini ialah karena belum ada titik temu antara Islam dan nasionalisme,” tutur Said.
Sambutan positif atas konferensi itu, menurut Said, akan ditindaklanjuti dengan pertemuan lanjutan dengan para delegasi dari negara lain. Sejumlah negara telah menyatakan kesiapannya mendirikan cabang NU di negara mereka, seperti Afganistan, Tunisia, dan Sudan. Keberadaan cabang NU di negara tersebut diharapkan bisa menyemai paham Islam yang damai dan toleran.
Tidak hanya kerukunan di dalam pemeluk Islam, NU juga terus menyemai persatuan dan kerukunan dengan pemeluk agama lain. Proses perbaikan di dalam diri pemeluk Islam pun terus dilakukan untuk kian mengikis paham radikal dan terorisme.
”Hal pertama yang harus dilakukan untuk mengatasi radikalisme dan terorisme ialah dengan bersikap jujur. Bahwasanya mungkin ada elemen-elemen dari dalam Islam yang dipakai sebagai landasan atau pembenaran bagi kelompok-kelompok garis keras itu untuk melakukan aksinya,” ujar Yahya Cholis Staquf, Katib Aam PBNU.
Menurut Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, sikap-sikap intoleran yang terjadi di Indonesia harus segera ditindak tegas pemerintah. ”Sekali lagi kami ingatkan, jika kelompok-kelompok anti Pancasila itu dibiarkan saja, suatu saat bisa menjadi ancaman besar bagi bangsa,” ujar Helmy.
Penyebaran radikalisme
Aktivis Islam yang juga mantan jurnalis dari Inggris, Lauren Booth, mencatat, peristiwa brutal belakangan ini menimbulkan memori kelam di benak publik di negara Barat. Orang-orang Muslim di negara Barat kerap menjadi sasaran prasangka buruk lantaran agamanya. ”Ini yang harus diluruskan karena tidak semua orang Islam berbuat seperti yang disangkakan kepada mereka. Sangat banyak orang Muslim di Inggris yang bergerak dan bekerja di publik dengan baik, serta menjalankan kewajibannya,” ujarnya. (REK/MAM)
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Mei 2016, di halaman
1 dengan judul "NU Tawarkan Islam Nusantara untuk Kedamaian Dunia".