Mei 09, 2016

KEBANGSAAN; Sejarah Lupakan Pahlawan Santri

JAKARTA, KOMPAS — Sejarah nasional Indonesia masih melupakan peran golongan santri dalam merintis dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Padahal, buah perjuangan santri tersebut terus dirasakan hingga saat ini, seperti hadirnya Indonesia yang toleran dan menghargai keberagaman.

Sejarawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Milal Bizawi, dalam peluncuran buku Pahlawan Santri Tulang Punggung Pergerakan Nasional, di Jakarta, Sabtu (7/5), mengatakan, negara Indonesia tak dibangun hanya dengan perjuangan bersenjata. Namun, juga dibangun melalui kekuatan doa dan tirakat golongan santri.

"Perjuangan santri menghasilkan negara yang toleran, heterogen, serta menghormati kebersamaan dan keberagaman tanpa harus menggunakan stempel resmi agama dalam bernegara. Ketika situasi Timur Tengah bergejolak, Indonesia damai dan tenteram. Kondisi ini tidak terlepas dari peranan golongan santri yang melahirkan cara bernegara yang dijalani Indonesia saat ini," kata Milal, yang pernah mondok di Pondok Pesantren Kajen, Pati, Jawa Tengah.

Milal mengingatkan, semasa penjajahan Hindia-Belanda, meski kerajaan-kerajaan di Nusantara takluk kepada kekuasaan Belanda, para santri terus bergerilya menanamkan semangat perlawanan dari satu pondok ke pondok lain dan dari satu daerah ke daerah lain. Bahkan perjuangan tersebut membentuk jaringan dengan para santri yang pernah belajar di Timur Tengah, terutama di Jazirah Arab.

Lebih jauh diingatkan, pada zaman Walisongo kebersamaan sudah tumbuh antara masyarakat pribumi, Arab, dan Tionghoa. Bahkan Laskar Jawa yang Islam dan Laskar Tionghoa pernah bersama-sama melawan Belanda.

Anggota Bawaslu RI, Daniel Zuchron, yang juga pernah mondok di sebuah pesantren di Majalengka, Jawa Barat, mengingatkan, santri adalah "bahan bakar revolusi" seperti yang dibuktikan dalam Resolusi Jihad menentang Belanda dan Sekutu dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
"Tantangan hari ini tidak lagi dihadapi dengan perlawanan bersenjata. Saat ini terjadi banjir dan perang arus informasi. Perang hari ini tidak bersifat ragawi. Itu realitas yang harus dihadapi golongan santri," tutur Zuchron.
Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon Mahrus Elmawa memberi catatan khusus tentang banyaknya kiai yang namanya tidak masuk dalam narasi sejarah perjuangan bangsa. "Bahkan sejarawan senior pun tidak mengenal nama-nama kiai yang turut berjuang. Ini tidak terlepas dari kepentingan penguasa waktu itu yang tidak mencatat peran para kiai," katanya.
Penulis buku, Munawir Aziz, mengatakan, penulisan buku Pahlawan Santri membutuhkan lebih dari sekadar riset. Kedekatan batin sebagai santri membuat karya tersebut juga mengalami proses spiritualitas.
Buku tersebut mencatat 29 kiai pejuang dari KH Hasyim Asy'ari hingga Haji Darip dari Klender, Jakarta. Para kiai dari sejumlah daerah di Nusantara terangkum peran dan jasanya dalam buku karya Munawir Azis yang pernah mondok di Pondok Pesantren Trangkil, Pati, Jawa Tengah, itu.
(ONG)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Mei 2016, di halaman 4 dengan judul "Sejarah Lupakan Pahlawan Santri".