Kasus Talangsari Ditarget Tuntas Maret
Kamis, 28 Februari 2008 - 18:30 wib
Koordinator Subkomisi Pemantauan Komnas HAM Johny Nelson Simanjuntak mengungkapkan, sesuai hierarki pertanggung jawaban atau tongkat komando, pihak yang bertanggung jawab adalah pemberi perintah atau komandan.
"Namun, sampai sekarang kami belum ada rencana memeriksa Pak Hendropriyono terkait kasus Talangsari, Lampung," tuturnya, Kamis (28/2/2008).
Menurutnya, Komnas HAM hanya meminta keterangan dari Sudomo soal terjadinya peristiwa Talangsari. Selain itu, Komnas juga ingin mendapatkan keterangan siapa saja yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Nelson menjelaskan, setelah dilakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi, Komnas baru memutuskan siapa saja yang akan dipanggil Komnas HAM. Dia mengakui, diperlukan waktu yang cukup untuk menuntaskan kasus Talangsari dan itu tidak bisa dilakukan terburu-buru. Soal target penyelesaian, dia menyebutkan pada Maret 2008 Komnas akan menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat ini.
''Masih ada waktu sampai bulan depan agar kasus Talangsari ini selesai,'' ujarnya. Dia optimistis, Komnas HAM mampu menuntaskan kasus yang menelan korban jiwa sampai 47 orang tersebut.
Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun berpendapat, Komnas HAM berwenang memanggil siapa pun yang diduga terlibat dalam kasus Talangsari. Politikus PDIP ini memaparkan, hasil penyelidikan komisioner tersebut diserahkan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Dia menambahkan, untuk menyelesaikan kasus Talangsari perlu dilakukan pertemuan antara Komnas HAM, Kejagung, dan DPR.
Keputusan Mahkamah Konstitusi soal dipangkasnya kewenangan DPR untuk memberikan rekomendasi atas kasus HAM tidak langsung berlaku karena diperlukan aturan baru dalam undang-undang (UU).
''Perlu dilakukan pertemuan secara formal dari seluruh pihak, seperti DPR, Komnas HAM, Kejaksaan Agung untuk membicarakan soal Talangsari,'' katanya. (hri) (Sindo Sore//uky)
Sudomo Diperiksa Komnas HAM: Kenapa Baru Sekarang?
Rabu, 27 Februari 2008 - 18:07 wib
Lamtiur Kristin Natalia Malau - Okezone
"Dulu kenapa tidak dituntut? Kenapa baru sekarang? tahun '89 itu
Dia pun mengakui, pemeriksaan yang dilakukan Komnas HAM itu adalah permintaan para korban. Disebutkan dia, peristiwa Talangsari saja sudah berumu 18 tahun. Sedangkan, untuk peristiwa Tanjung Priok tak pernah ada penyelesaiannya di pengadilan.
"Tampaknya banyak peristiwa, seperti peristiwa Tanjung Priok yang tidak pernah ada penyelesaiannya di pengadilan. Mungkin ketentuannya sebenarnya ada," kilahnya. (ism)
Komnas HAM Sowan ke Mabes TNI
Jum'at, 25 Januari 2008 - 16:47 wib
JAKARTA - Komnas HAM yang dipimpin ketuanya, Ifdhal Kasim beserta tiga anggota lain, yakni M Ridah Saleh, Joni Nelson Simanjuntak, danKabul Supriadi menemui Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso di Mabes TNI Cilangkap.
Dalam pertemuan tersebut, dibahas beberapa persoalan tekait pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan sekarang. Kunjungan itu juga dimaksudkan sebagai ajang perkenalan anggota Komnas HAM yang baru dan Panglima TNI.
Kapuspen TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen dalam pertemuan itu mengatakan, Komnas HAM menerangkan tugasnya untuk menindaklanjuti kasus yang selama ini ditangani anggota priode sebelumnya, termasuk berbagai kasus dugaan pelanggaraan HAM yang terkait dengan sejumlah pejabat dan mantan pejabat TNI yang belum optimal dituntaskan. di antaranya kasus penembakan di Alastlogo, Pasuruan, Jawa Timur, kasus Talangsari, dan soal sengketa tanah antara masyarakat dan TNI.
Sagom menjelaskan, pihaknya akan terus bekerja sama dengan siapapun di masa depan, terkait tiga kasus yang ditanyakan Komnas HAM. Sagom kembali menjelaskan, sebagian kasus, seperti kasus Alastlogo saat ini sudah masuk ke oditur militer dan segera disidangkan di pengadilan militer.
Sedangkan terkait sengketa tanah, Komnas HAM diharap mempertimbangkan peraturan penggunaan tanah negara oleh TNI, agar tidak terkesan TNI merebut tanah rakyat.
"Sebaiknya kita melihat persoalan HAM dari sisi subjek dan objeknya. TNI itu
Sagom menambahkan, Panglima TNI juga memberikan apresiasi jika Komnas HAM akan memanggil sejumlah anggota dan mantan prajurit yang terlibat pelanggaran HAM.
Namun, TNI tidak memiliki kewenangan untuk memaksa dan menghadirkan para mantan prajurit yang sudah pensiun.
Ketika ditanya apkah kasus pelanggaran di masa lalu, seperti kasus penembakan misterius atau petrus, operasi celurit 1983-1986, kasus Tanjung Priok, kasus penghilangan orang secara paksa, dan kasus penculikan aktivis dibicarakan dalam pertemuan tersebut, menurut Sagom persoalan tersebut tidak dibicarakan.(Sukmo Wibowo/Trijaya/fit)
'S' dan 'N' Nama Calon Sekjen Komnas HAM
Jum'at, 18 Januari 2008 - 17:43 wib
Muhammad Hasits - Okezone
JAKARTA - Tim Penilai Akhir untuk posisi Sekretaris Jenderal Komnas HAM akhirnya sudah mengajukan satu nama ke presiden, untuk mengisi posisi kosong saat ini. Satu nama tersebut nantinya masih akan digodok di internal tim penilai.
"Tadi dalam rapat tim penilai akhir memilih satu di antara dua nama yang diajukan oleh Komnas HAM," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (18/1/2008).
Namun sayang, Ifdhal menolak untuk membocorkan siapa saja dua orang yang termasuk dalam deretan nama calon sekretariat jenderal. "Inisial saja yang satu namanya N satu lagi S," tutur Ifdhal menyembunyikan.
Ifdhal menyebutkan, dua nama tersebut semuanya berasal dari Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN). "Kita minta secepatnya Kepresnya dikeluarkan dan diharapkan bulan depan sudah jadi," harap Ifdhal.(ahm)
DPR RI HARUS BERTANGGUNGJAWAB ATAS PENUNDAAN PENUNTASAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT MASA LALU
Tahun ini (2008) reformasi memasuki umur 10 tahun. Namun sayangnya kasus-kasus Pelanggaran berat HAM yang terjadi disekitar masa awal reformasi tidak terselesaikan hingga saat ini. Salah satu penyebabnya adalah politik prosedural dan pragmatisme DPR.
Sudah hampir sepuluh tahun reformasi berjalan penuntasan kasus Trisakti, Semanggi I & II (TSS), Tragedi Mei 1998, Penculikkan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998 tidak mengalami kemajuan berarti bagi pemenuhan keadilan Korban. Banyak upaya yang sudah dilakukan keluarga korban namun belum ada respon yang serius dari pemerintah.
Disatu sisi DPR, sebagai sebuah institusi yang dirujuk untuk merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Adhoc (Pasal 43 UU no 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM) justru mempersulit kelancaran kasus-kasus diatas. Dalam catatan kami, DPR RI masih tetap dengan sikap tidak bersedia mencabut rekomendasi paripurna DPR RI tahun 2001 yang menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran berat HAM. Sementara untuk Mei 1998 DPR tidak merespon apapun. Sedangkan kasus Penculikkan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998 DPR malah membuat Panitia khusus untuk memeriksanya.
Mekanisme internal DPR RI menjadi hambatan bagi proses penuntasan kasus-kasus diatas. Mekanisme yang ada mengesankan sebagai bagian yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Komisi III DPR rekomendasinya tidak dijadikan acuan oleh BAMUS dan Pimpinan DPR. Sementara perwakilan setiap fraksi yang ada didalam DPR terlihat tidak memiliki keutuhan sikap, keterlibatan fraksi-fraksi di komisi III tidak otomatis sama di tingkat BAMUS. Tidak mengherankan jika selalu terjadi perbedaan kepentingan antara keputusan Komisi III dan Badan Musyawarah (BAMUS) DPR RI. Sungguh aneh jika setiap mekanisme internal di DPR RI memiliki keputusan tersendiri, tidak utuh dan saling bertentangan.
Harusnya dipahami bahwa Komisi III tidak hanya menjadi pintu masuk proses komunikasi dengan keluarga korban, namun juga kepanjangan tangan dari DPR RI. Setiap anggota yang ada didalamnya bertanggungjawab untuk mengawal dan menjaga proses penuntasan kasus tersebut tetap berjalan dan tidak berhenti pada mekanisme internal lainnya.
Pengabaian DPR ini merupakan cermin memperburuk ketidak pastian Hukum dan jaminan HAM di Indonesia. Hal ini berdampak pada penundaan hak keadilan dan pemulihan para korban. Bahkan hal ini berdampak pula pada ketidak jelasan status (Almarhum) HM. Soeharto, terutama para kroninya yang semestinya juga harus bertanggungjawab. Kami justru menyesal jika yang dimunculkan adalah pemberian gelar pahlawan dan pemberian maaf tanpa memperdulikan nasib keluarga korban.
Oleh karenanya kami mendesak DPR melalui komisi III, pertama, Untuk memperbaiki kinerjanya dalam peran penuntasan kasus-kasus pelanggaran berta HAM. Hal ini bisa dilakukan dengan segera cabut hasil Pansus DPR (1999-2004) terkait kasus TSS I & II yang menyatakan tidak terapat pelanggaran berat HAM. Untuk kasus penculikkan & penghilangan paksa aktivis 1997/1998, Pansus yang dibentuk untuk mengadopsi hasil temuan Komnas HAM. Kedua, segera merekomendasikan Presiden RI untuk segera membentuk pengadilan HAM Adhoc atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM dimasa lalu.
Keluarga Korban TSS I & II , Mei 98, Penculikkan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998, IKOHI, PRESMA Univ Trisakti, KontraS, TPK 12 Mei, FAMSI ATMAJAYA, RPM UKI
Lampiran : Respon Terakhir DPR RI ;
No | Kasus | Waktu | Respon |
1 | Trisakti, Semanggi I&II | 14 Februari 2007 | Ketua Komisi III menyerahkan rekomendasi pembentukkan pengadilan ham ad hoc untuk kasus TSS I&II dan Mei 98, kepada Presiden |
15 Februari 2007 | Ketua DPR RI menyatakan akan meneruskan rekomendasi itu kepada Presiden | ||
28 Februari 2007 | Rapat Pimpinan (RAPIM) | ||
6 Maret 2007 | Bamus DPR RI menolak rekomendasi itu dibawa ke paripurna | ||
8 Maret 2007 | Rapat Pimpinan (RAPIM) | ||
13 Maret 2007 | 6 Fraksi dari 10 fraksi di rapat Bamus DPR RI menolak rekomendasi tersebut dibawa ke Paripurna DPR RI | ||
2 | Mei, 98 | 14 Februari 2007 | Ketua Komisi III menyerahkan rekomendasi pembentukkan pengadilan ham ad hoc untuk kasus TSS I&II dan Mei 98, kepada Presiden |
| Sampai sekarang tidak ada respon resmi dari negara terhadap kasus ini | ||
3 | Penculikkan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998 | 29 Januari 2007 | Pertemuan Jaksa Agung dan Komisi III. Tidak ada solusi bagi tindaklanjut penyidikan |
26 Februari 2007 | Pembentukan Pansus Orang Hilang yang diketuai oleh Panda Nababan. Hingga saat ini tidak ada kejelasan | ||
5 Maret 2007 | Pertemuan Tripartit, Jaksa Agung, Komnas HAM dan Komisi III DPR RI. Dari hasil pertemuan tersebut, Jaksa Agung tetap menolak melakukan penyidikan tanpa keputusan politik DPR RI |
Sumber: Dokumentasi KontraS
KontraS
TNI HARUS TUNDUK PADA SUPERMASI HUKUM SIPIL
Sebagai bagian dari reformasi sektor keamanan (security sector reform), reformasi peradilan militer juga menjadi bagian dari upaya penataan ulang kembali fungsi, struktur dan kultur institusi penanggung jawab keamanan yang sesuai dengan tata nilai demokrasi dan HAM. Mengingat dominasi militer di Indonesia yang tertanam begitu lama menempatkan militer (TNI) melalui peradilan militer, berbeda kedudukannya di hadapan hukum (equality before the law).
KontraS Sumatera Utara menilai perluasan yurisdiksi peradilan militer yang saat ini tengah dibahas di DPR sangat tidak berpihak pada masyarakat sipil dan cenderung menjadi usaha TNI membentengi dirinya (impunity) dari jeratan hukum. Masuknya masyarakat sipil dalam yurisdiksi pengadilan militer dapat dijadikan alat negara untuk memberangus gerakan rakyat. Lagipula KontraS Sumut menilai hal ini bukanlah substansi dari tujuan revisi UU Pengadilan Militer. Dalam salah satu rumusan RUU Peradilan militer yuang diajukan pemerintah termuat "seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, b, dan c (seperti disebutkan diatas) tetapi atas keputusan panglima dengan persetujuan ketua Mahkamah Agung diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer."
Sejauh ini kesepakatan yang telah dicapai antara legislatif dan eksekutif dalam hal yurisdiksi baru terbatas pada dua hal, salah satunya yaitu prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di pengadilan umum. Dan prajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer diadili di Mahkamah Militer. Namun dalam pelaksanannya, TNI yang melakukan tindak pidana umum tetap diproses di peradilan militer seperti yang terjadi pada kasus kematian Dewi Purwanti yang melibatkan tersangka Praka Roby Nugraha. Roby beralibi kasus ini murni lakalantas. Keluarga korban sudah mengadukan kasus ini ke Poldasu namun ditolak karena polisi melihat adanya keterlibatan TNI. Maka KontraS Sumut memandang perlunya sebuah mekanisme yang jelas agar prajurit TNI tunduk pada supermasi hukum sipil (supremacy of law). Mekanisme inilah yang akan dijadikan "senjata" bagi polisi untuk memproses tindak pidana umum yang dilakukan aparat TNI. Sedangkan masyarakat sipil hanya bisa diadili di pengadilan militer dalam konteks keadaan tertentu seperti dalam kondisi perang atau darurat militer.
Selain itu dalam pasal 9 UU Pengadilan Militer menyebutkan bahwa "pengadilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan seseorang..." Pasal ini membuka peluang multitafsir defenisi tindak pidana dan pelaku tindak pidana itu sendiri. Luasnya pengertian tindak pidana dan luasnya cakupan yurisdiksi pengadilan militer dinilai dapat menghambat proses demokratisasi dan penegakkan HAM di Indonesia.
Hal yang kedua yang telah disepakati adalah penghapusan pengadilan koneksitas. Dalam UU No 31 tahun 1997 tentang peradilan militer menyebutkan adanya pengadilan koneksitas untuk mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum. Namun pengadilan ini dinilai sangat sarat akan impunitas. Keputusan-keputuusan yang dibuat tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bahkan dalam bebrapa kasus, mekanisme pengadilan koneksitas ini dilakukan tidak sesuai dengan standar fair play dalam pengadilan, sehingga seringkali pelaku dibebaskan atau memperoleh hukuman yang ringan. Maka KontraS Sumut berpendpat sama bahwa pengadilan koneksitas juga harus dihapuskan dari mekanisme pengadilan militer. Selain itu KontraS Sumut juga menilai tindak pidana pelanggaran berat HAM dan kejahatan perang tidak boleh menjadi yurisdiksi Peradilan Militer melainkan dalam pengadilan HAM.
Demikianlah pers release ini kami perbuat agar segera dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait demi tegaknya keadilan dan penegakkan HAM di Sumatera Utara. Terima kasih.
Diah Susilowati
Koordinator