Agustus 27, 2008

Agama, Politik, dan Pemilu

AKHIRNYA, terpilih 38 partai politik (parpol) dan enam parpol lokal Aceh sebagai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Masa kampanye juga telah dimulai, hingga sembilan bulan ke depan. Antara parpol yang satu dan lainnya akan berlomba kreatifitas dalam mengusung materi dan strategi kampanye. Satu diantara sekian materi kampanye yang dipastikan akan akan dinilai memiliki nilai strategis oleh beberapa parpol adalah isu keagamaan. Agama menjadi sebuah isu yang menjanjikan untuk dijadikan sebagai materi kampanye. Adapun ditinjau dari aspek strategi, penggunaan isu agama memiliki nilai sensitifitasnya tersendiri bagi sebagai massa calon pemilih pada pemilu nanti.

Secara substansial, penggunaan agama sebagai isu kampanye dapat diekspresikan dalam dua bentuk. Dua bentuk ini, pada konteks yang lebih luas sekaligus bersinggungan dengan relasi antara agama dan politik. Dua bentuk yang dimaksud adalah: Pertama, dengan 'berbicara' tentang agama. Dalam konteks ini, agama menjadi salah satu materi kampanye politik yang diangkat sekaligus dimanfaatkan oleh sebuah parpol. Penggunaan isu agama dinilai memiliki efektifitas dalam menjaring simpati politik atau suara dari massa pemilih. Ada dua pilihan yang bisa digunakan, jika sebuah parpol memilih untuk 'berbicara' soal agama: (1) dengan menegaskan afiliasi politiknya terhadap sebuah ajaran agama tertentu sebagai basis ideologisnya. Dalam konteks ini, sebuah parpol menjadikan agama tertentu sebagai ideologi politiknya, dengan harapan bahwa hal itu menjadi salah satu daya tarik para penganut agama yang bersangkutan untuk menjatuhkan pilihan politiknya pada parpol tersebut. Misalnya, parpol yang menganut agama Islam atau Kristen sebagai basis ideologi politiknya. Jagad politik Indonesia memperlihatkan lahirnya parpol Islam sebagai salah satu contoh dari fenomena ini. Jelas, parpol seperti ini membidik umat Islam sebagai target massa pemilihnya secara khusus, atau siapapun yang setuju dengan konsep ideologi politik Islam yang mereka tawarkan. (2) Sebuah parpol dapat 'berbicara' soal agama dengan cara menegaskan prinsip non-afiliasinya terhadap sebuah agama tertentu. Parpol tersebut menegaskan bahwa ideologi politiknya berbasis pada prinsip pluralitas keagamaan. Dalam hal ini, parpol tersebut juga memanfaatkan isu agama sebagai materi kampanye, namun dalam konteks yang sebaliknya dari yang dilakukan oleh parpol jenis nomor satu di atas. Fenomena parpol yang berbasis pada prinsip nasionalisme (parpol nasionalis), merupakan contoh konkretnya di perpolitikan Indonesia. Dalam sepak terjang politiknya, baik kampanye maupun kebijakan, parpol model ini menegaskan ketidakberpihakannya pada salah satu agama, melainkan pada semua agama melalui proteksi-proteksi politik yang ditawarkan. Dengan ini, mereka berharap dapat menjaring massa pemilih yang berprinsip nasionalis-pluralis.

Jadi, walaupun bertolak belakang dalam hal penegasan ideologi politiknya, dua model parpol di atas sama-sama menggunakan agama sebagai materi sekaligus strategi kampanye. Politisasi agama, dalam pengertiannya yang substansial, pada dasarnya sama-sama dilakukan oleh dua model parpol di atas. Hanya saja, dalam konteks kepentingan serta visi yang tidak sama. Yang satu dengan ideologisasi satu agama, sementara yang kedua dengan ideologisasi tidak pada satu agama.

Kedua, dengan 'diam' soal agama. Jika pada nomor satu di atas, ekspresinya adalah dengan 'berbicara' agama, maka pada model yang kedua ini sebaliknya: parpol 'tutup mulut' soal agama. Isu agama tidak diakomodasi ke atas panggung politik, meskipun dalam konteks visi nasionalisme, sebagaimana yang dilakukan parpol model kedua di atas. Disini, tidak ada tempat untuk agama untuk mempertontonkan atraksi tariannya di lantai dansa politik, demi merebut massa pemilih. Dengan kata lain, dalam konteks ini tidak terjadi tindak politisasi agama. Pertanyannya, pada tataran praktis mungkinkah itu dilakukan?

Ada dua hal mendasar yang bisa dijadikan petunjuk untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, secara teoritis, hal itu mungkin dilakukan pada sebuah negara yang menganut ideologi politik ateis. Dengan bertumpu pada prinsip tidak bertuhan atau beragama, maka sebuah parpol atau politik sebuah negara dengan sendirinya akan 'diam' terhadap hal-hal yang menyangkut soal agama. Itu ideal teoritisnya. Namun, bagaimana kemungkinannya pada tingkat realitas? Apakah negara ateis bisa dijadikan contohnya? Untuk menjawabnya, poin kedua berikut ini mungkin akan membantu. Kedua, 'diam' soal agama, secara substansial merupakan ekspresi 'berbicara' tentang agama. Dengan memilih untuk tidak berbicara, pada dasarnya seseorang telah mengirimkan sebuah pesan. Inilah premis fundamentalnya. Jadi, ketika ekspresi yang ditampilkan oleh sebuah parpol atau perpolitikan sebuah negara terkait soal agama adalah dengan 'diam', maka pada saat yang sama itu menyiratkan sebuah 'pembicaraan' tentang agama.

Kesimpulannya, dalam konteks dan bentuknya yang bagaimanapun, agama selalu menjadi benda yang memikat dan seksi untuk dijadikan komoditas politik.



Politik Indonesia dan agama



Perpolitikan Indonesia merupakan salah satu jagad yang sangat merasakan betapa agama merupakan komoditas yang sangat menjanjikan jika dijual di pasar politik. Sejarah perpolitikan negeri ini telah menunjukkan betapa agama memainkan gerakan-gerakan yang atraktif di pentas dansa politik. Era Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi mempertontonkan akrobatik-akrobatik agama dengan gayanya sendiri. Masa Orla memperlihatkan bagaimana agama (dalam hal ini Islam) berupaya meraih puncak tertinggi politik kekuasaan, namun gagal dan berujung pada tersungkurnya agama dari pentas akrobatik politik dan kemenangan diraih kalangan nasionalis. Pada era ini, dua kelompok politik yang menggunakan dua model 'berbicara' sebagaimana dijelaskan di atas, bertarung. Yang satu 'berbicara' dengan mengideologisasikan Islam, sementara yang satu lagi nasionalis.

Memasuki masa Orba, agama (Islam) merasakan dua horison yang berbeda. Pada masa awal berkuasa, Presiden Soeharto benar-benar menepikan peran agama (ulama) dari pentas politik, sehingga praktis seperti dikurung di sangkar ritual-seremonialnya. Dalam konteks ini, Soeharto menggunakan model yang kedua diatas, 'berbicara' tentang agama dengan cara tidak memihak pada salah satu agama sebagai basis ideologi politiknya. Namun, separuh berjalan masa kekuasaannya, ada perlakuan yang berbeda terhadap (kalangan) Islam. Memang, Soeharto tidak sampai pada taraf 'berbicara' dalam konteks menjadikan agama (Islam) sebagai ideologi politik. Namun setidaknya ada pemberian ruang yang lebih leluasa pada agama (ulama) dalam berkiprah di pentas politik.

Akhirnya, era reformasi mempertontonkan sebuah tarian yang paling atraktif, akrobatik, dan bebas oleh agama di panggung politik. Pada masa yang diidentikkan dengan era kebebasan ini, agama benar-benar mendapat keleluasaan. Dua model 'berbicara', sebagaimana dipaparkan di atas, benar-benar terekspresikan pada masa ini. Bahkan, ada gejala pertarungan antara keduanya dalam kelihaian untuk menari di pentas politik dengan memanfaatkan ritme (perangkat dan struktur) politik yang tersedia. Dalam batas tertentu, ada kesamaan fenomena dengan masa Orla (pasca-kemerdekaan) dahulu. Namun tentunya dalam konteks yang berbeda di berbagai sisinya.

Sekadar memberikan ilustrasi fakta di era reformasi. Beberapa tahun yang lalu, wacana haramnya perempuan menjadi presiden (pemimpin) menjadi salah satu materi, sekaligus strategi, kampanye yang digunakan oleh sebuah faksi politik tertentu (parpol islami) untuk bersaing dengan faksi lain (nasionalis-pluralis) yang justru mengusung visi sebaliknya (Islam tidak melarang perempuan untuk jadi presiden). Dalam konteks itu, walaupun dibedakan oleh visi dan kesimpulan pandangan yang bertolak belakang, namun baik faksi yang pertama maupun kedua sama-sama 'berbicara' soal agama. Dan, sekali lagi, dalam pengertian yang paling substansial, keduanya pada dasarnya sama-sama memolitisasi agama sebagai materi dan strategi politik. Ini bukti kuat dan konkret bahwa agama benar-benar bisa menjadi mitra sejati di belantara politik. Dan bukti ini menjadi semakin kuat ketika, ironisnya, dalam kasus wacana presiden perempuan tersebut, pada akhirnya salah satu faksi yang sebelumnya mengharamkan presiden perempuan, pada akhirnya kadernya justru bersedia menjadi wakil presiden dari presiden perempuan yang dimaksud. Anomali, memang. Ah, agama(wan) memang lihai berakrobat dan menari atraktif di lantas dansa politik. Siap-siap melihat atraksinya di Pemilu 2009!



Oleh Muhammad Ja'far, Peneliti Pustaka LP3ES