KISRUH royalti batu bara oleh enam perusahaan terkemuka tetap buntu. Pemerintah tetap saja tidak mampu memaksa perusahaan-perusahaan yang membangkang itu membayar kewajiban mereka.
Kisruh yang terkuak ke publik setelah Departemen Keuangan menyatakan pencekalan terhadap sejumlah petinggi pada perusahaan tersebut sebulan lalu, sesungguhnya sebuah persoalan lama. Bahkan amat lama karena berlangsung sejak 2001. Tidak hanya itu, jumlah royalti yang tidak mau dibayar mencapai Rp7 triliun.
Publik dibuat geram menghadapi pemerintah yang kehilangan taji terhadap pembangkang. Seakan-akan tidak ada kepastian aturan dalam soal royalti ini. Perusahaan batu bara menafsirkan lain, pemerintah menafsirkan lain. Bahkan dengan gagah berani perusahaan-perusahaan yang menikmati keuntungan luar biasa itu menantang pemerintah ke arbitrase internasional.
Soal pajak adalah soal negara di mana perusahaan itu berada. Tidak ada aturan yang mengatakan pengemplang pajak mengadukan nasibnya ke arbitrase internasional. Karena itu pemerintah tidak perlu meladeninya dan langsung saja menambah daftar petinggi yang dicekal, termasuk pemilik. Dan juga, langsung saja menangkap dan menahan pengusaha-pengusaha yang membangkang itu.
Terlalu banyak wacana dengan berbagai ancaman tapi tidak dilaksanakan memperlihatkan kelemahan pemerintah menghadapi para pengusaha. Kebutuhan kita menciptakan iklim investasi yang baik tidak berarti pemerintah lalu berhamba kepada para pengusaha bandel itu.
Pembangkangan terlalu amat jelas dan menyakitkan. Tidak mau membayar sejak 2001 yang dilakukan sepihak sebagai sandera atas aturan pemerintah yang menghapus PPN batu bara sehingga mereka kehilangan hak memperoleh restitusi.
Tindakan itu membalikkan fungsi regulator dari negara ke tangan perusahaan. Dan negara sejak 2001 sampai detik ini tidak berdaya.
Para pengusaha pembangkang itu berteriak tentang hak restitusi yang belum dibayar pemerintah. Tetapi ternyata mereka tidak pernah mengajukan restitusi itu.
Ketika pencekalan dilakukan, mereka menyatakan bersedia membayar. Tetapi sampai saat ini tidak ada satu pun yang memenuhi janji. Pemerintah lalu memberi waktu seminggu lagi. Melihat gelagat selama ini, sangat mungkin mereka akan mengingkari janji lagi.
Sampai kapan pemerintah dan kita harus bersabar menyaksikan pembangkangan yang dilakukan dengan amat angkuh itu? Dalam soal pembangkangan royalti ini tidak hanya penerimaan negara yang hilang, tapi yang jauh lebih menyakitkan adalah diinjak-injaknya aspek keadilan.
Ketika seorang pelanggan listrik atau telepon menunggak pembayaran satu bulan, negara menghukum dengan pemutusan. Padahal jumlah tunggakan mungkin hanya ratusan ribu rupiah.
Tetapi mengapa terhadap pengusaha batu bara yang telah memperoleh keuntungan berlipat ganda, pembangkangannya tidak dikenai sanksi apa-apa? Tunggakan royalti Rp7 triliun bukanlah angka yang kecil.
Tunggakan itu adalah hak publik untuk menikmati. Jangan sampai hak publik disandera hanya oleh restitusi yang dinikmati segelintir orang di perusahaan-perusahaan tersebut.
Jadi, sudah saatnya pemerintah menindak tegas pengusaha yang membangkang itu. Tidak cukup hanya dengan paksa badan. Kalau perlu, pembekuan izin usaha sampai mereka melunasi kewajiban kepada negara.*