September 18, 2008

Keistimewaan Yogya yang Terbengkalai


ERA reformasi telah mengubah ketatanegaraan secara dramatis. Aturan-aturan yang lemah daya responsifnya terhadap realitas sosial politik kian terpinggirkan. Pemilihan pemimpin, baik nasional maupun lokal, secara langsung bukan lagi sekadar wacana, melainkan sudah menjadi fakta.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pun terkena imbas. Bekas kesultanan yang memiliki sejarah panjang mengabdi kepada Republik ini dihadapkan pada dua pilihan. Pertama memegang amanah sejarah dan kedua melakoni demokrasi melalui pemilihan langsung (pilkada).

Dari sisi sejarah pun ada dua model. Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII diangkat oleh presiden sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY hingga akhir hayat meski Sri Sultan HB IX merangkap jabatan sebagai menteri bahkan wakil presiden. Sedangkan Sultan dan Paku Alam berikutnya yaitu Sultan HB X dan Paku Alam IX ditetapkan DPRD sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY untuk masa jabatan lima tahun.

Sri Sultan HB X mempertegas langkah modernisasi dan demokrasi. Itu ditegaskannya tahun lalu, tepatnya 7 April. Pada orasi budaya berjudul Mengabdi untuk Pertiwi, Ngarso Dalem mengatakan tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Gubernur DIY. Sri Sultan bahkan menitipkan masyarakat Yogyakarta kepada gubernur terpilih.

Sikap Sultan itu jelas memperlihatkan bahwa dia ingin mengakhiri dualisme kepemimpinan di Yogya. Yakni Sultan sebagai gubernur dan Sultan sebagai raja.

Gubernur dalam sistem pemerintahan modern yang demokratis mengurusi birokrasi pemerintahan, mengatur urusan publik, politik, penegakan hukum, dan lain-lain. Kerja gubernur harus transparan dan tidak kebal terhadap pengawasan oleh institusi demokrasi yang rasional.

Dalam perspektif itu monarki konstitusional seperti Yogyakarta tidak lagi relevan. Karena gubernur tidak melalui pemilu yang demokratis, tanpa partisipasi publik, dan memperlihatkan watak kekuasaan yang feodalistik.

Sebagai raja, keraton dan Puro Pakualaman harus dilepaskan dari birokrasi pemerintahan modern. Dengan demikian, nilai-nilai keluhuran dan kewibawaan raja tidak tercemar intervensi politik.

Keistimewaan Yogyakarta dengan Sultan dan Paku Alam tetap sebagai gubernur dan wakil gubernur sebenarnya masih diperkenankan oleh konstitusi. UUD 1945 tetap mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan UU.

Persoalannya Sultan sudah bertitah. Dan titah seorang raja pantang dicabut. Keistimewaan Yogyakarta pun mulai terganggu. Terganggu karena masa jabatan Sri Sultan HB X-Paku Alam IX berakhir 8 Oktober, sementara UU DIY belum juga rampung dan Sultan ingin lengser.

Jika pemerintah sedikit saja serius, seharusnya sejak 2007 sudah menyiapkan RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta. Namun, hingga pekan ini, RUU tersebut belum pula dibahas.

RUU Keistimewaan Yogyakarta tetap mengakomodasi keistimewaan Yogyakarta. Gubernur dan Wakil Gubernur DIY akan dipilih melalui pilkada, sedangkan Sultan dan Paku Alam berada dalam Parardhya, sebuah lembaga yang mempunyai fungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat Yogyakarta.

Keraton Yogya sejak mula mengawal kemerdekaan untuk mencapai negara demokrasi yang modern. Guna mendukung cita-cita itu, tanah kesultanan yang luas dibagikan kepada pemerintah dan untuk keperluan pendidikan.

Bahkan Keraton Yogya mempersembahkan takhta raja untuk rakyat.

Jasa Keraton Yogyakarta terhadap Republik ini jangan dinodai kepentingan politik elite negara saat ini. Jangan sekali-kali melupakan sejarah dengan membuat keistimewaan Yogya terbengkalai.