Jakarta, RISALAHNU - Papua adalah bagian integral dari bangsa dan negara Indonesia. Memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Tapi hal ini berbeda dengan kondisi kesejahteraan rakyatnya. Dalam akhir orde baru hingga sekarang banyak konflik yang terjadi, baik konflik politik atau konflik agama. pemerintah pusat, berkali-kali juga menyelesaikan, tapi konflik tersebut selalu saja terjadi.
Menurut Prof. Dr. Muhammad A.S Hikam,
pendekatan kebudayaan melalui toleransi dalam kehidupan keberagamaan dan
penguatan kebangsaan adalah langkah yang tepat sebagai strategi resolusi
konflik di papua. Ini harus dilakukan karena pendekatan keamanan tidak akan
efektif. Dan sudah terbukti dalam perkembangan sejarah penanganan konflik
di Papua. Hal itu disampaikan dalam Seminar bertema “Papua adalah Indonesia”
yang dilaksanakan di Gedung AJS Fakultas Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia. Kamis, 29 Oktober 2015. Terkait Tolikara, Mantan
Menristek era Gus Dur ini mengatakan, “Insiden Tolikara, tidak bisa
dianggap sebagai pendindasan Kristen terhadap Islam.
Pendekatan yang dapat dilakukan adalah legal
formal. Penyebab konflik Torikara adalah miskomunikasi, polarisasi kaum
pendatang dan penduduk asli.”Isu agama di Papua sama sekali tidak dianggap sebagai
penyebab konflik yang telah terjadi selama ini. Sumber polarisasi yang lebih
penting bukanlah agama, namun antara pendatang dan orang asli Papua.
Dari insiden Tolikara ini, pelajaran yang
dapat diambil adalah, bahwa penanganan represif (kendatilegitimate) pada
akhirnya tidak selalu efektif sebagai cara mengatasi dan menyelesaikankonflik
masyarakat di Papua. melainkan harus menggunakan pendekatan dialog budaya.
Nasionalisme dan dialog adalah bagian terpenting dalam pendekatan
budaya. “Jangan menuntut Papua untuk nasionalis terhadap Indonesia,
tapi the rest of Indonesian harus merasa memiliki Papua” tutur
beliau.“landasan paling utamanya adalah penguatan bahwa Papua adalah bagian
integral dari NKRI, tanpa Papua tidak akan ada NKRI”, tegasnya.
Kemudian, menurut Narasumber yang lain Dr. Adriana
Elisabeth memaparkan bahwa “Mengambil judul Papua dalam Rumah Indonesia. Papua
masih memiliki banyak pelanggaran HAM dan kekerasan, contohnya adalah kerusuhan
di Tolikara, penculikan 2 WNI di Papua Nugini, dan lain-lain. Selain itu masih
banyak masalah pembangunan di Papua dan peminggiran orang asli Papua contohnya
kasus PFTI & MIFEE. Pemerintah selama ini terlihat meng-understimate Papua. Mereka kira Papua
adalah wilayah yang minim konflik dan hanya butuh uang. LIPI bersama dengan
Jaringan Damai Papua (JDP) memperkenalkan satu pendekatan,yaitu dialog. Akar
masalah di Papua yang di-research
oleh tim LIPI yaitu: 1) Marginalisasi dan diskriminasi terhadap Papua, 2)
Kegagalan pembangunan, 3) kekerasan politik dan pelanggaran HAM, dan 4) sejarah
politik Papua.
Isu paling sensitive adalah sejarah politik Papua. Secara
politik, Papua terhitung menjadi bagian NKRI, namun secara pembangunan ekonomi,
pendidikan, dll Papua masih terkesan dikesampingkan. Oleh karena itu,
kebanyakan masyarakat Papua merasa “untuk apa kami dipertahankan?”.
Salah satu akar masalah kemanusiaan di Papua adalah
persepsi atas martabat Papua oleh warga Indonesia serta pengakuan eksistensi Papua.
Bagaimana pemerintah bisa mengaku sudah melakukan pembangunan merata jika
kenyataannya masih banyak fasilitas yang kurang memadai di sekolah,
universitas, dan rumah sakit di Papua. Banyak generasi muda Papua yang tidak
bisa hidup karena ibunya pun kurang sehat, hal ini dikarenakan tidak
mencapainya rumah sakit hingga ke pelosok Papua. Masalah lainnya adalah tanah
yang dirampas, padahal sejatinya tanah adalah pemberian Tuhan dan bukan
komoditi untuk diperdagangkan.
Strategi dan solusi ke depannya untuk Papua adalah dengan
mengubah mindset diskriminatif pada diri kita. “Kenapa tidak presiden Indonesia
berasal dari Papua? Apa salahnya jika orang Papua menjadi presiden?” tuturnya.
Kita juga harus menghargai martabat orang Papua. Jika masih ada orang Papua
yang berusaha untuk melepaskan diri, selama itu pula NKRI masih belum bersatu. Papua
harus merasa home sweet home di
Indonesia.
Dalam kesempatan ini ada pertanyaan dari salah satu peserta
bernama Astrid, Biologi FMIPA UI mengenai
Masyarakat Papua yang masih diremehkan
dan menurut saya pribadi hal tsb disebabkan karena belum adanya upaya yang
massif untuk menyadarkan masyarakat awam tentang konflik Papua dan eksistensi Papua.
Menurut saya, masyarakat Papua butuh media yang dapat menyebarkan masalah Papua
yang bukan hanya keterbelakangan infrastruktur, melainkan masalah kemanusiaan.
Kalau memang Papua harus diakui masyarakat, ajaklah masyarakat untuk mengakui
dan menghargai martabat mereka. Secara umum, saya mendapat insight baru bahwa isu Papua adalah isu yang sangat krusial, bukan
hanya konflik antara mayoritas dan minoritas. Dijawab oleh Dr. Adriana
Elisabeth: Dengan media sosial, tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Selain
itu dibutuhkan public awareness pada
masyarakat atas konflik Papua.
Selanjutnya Narasumber berikutnya seorang Aktivis Papua
Jhoni Jonathan Numberi, M.Eng memaparkan sejarah
terbentuknya Papua menjadi NKRI. Setelah itu, dipaparkan tentang masuknya agama
di Papua. Islam masuk di Papua bagian barat pada abad 16 dan Kristen masuk di Papua
pada abad 18. Sebelum sumpah pemuda, sekolah sudah ada di Papua dengan
pengajaran menggunakan bahasa Indonesia. Papua masih belum terlepas dari
pengaruh Ternate dan Tidore. Beliau memaparkan UU No. 21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan implementasinya. Undang-undang ini
dibuat dalam rangka mewujudkan cita-cita bersatunya NKRI. Ia juga menjelaskan Amanat
UU Otsus no.21 tahun 2001 tentang Pendidikan Pasal 56 ayat 1, 3, dan 6.
Papua memiliki wilayah yang
luas dan penduduk yang tidak padat, seharusnya Papua bisa di-handle oleh pemerintah. Papua memiliki
sumber daya alam yang melimpah. Papua juga memiliki tingkat variasi fauna yang
tinggi.
Kesimpulannya adalah Papua
memerlukan pengakuan dan perlindungan terhadap HAM dan pemerataan pembangunan.
Kesimpulannya adalah konflik Papua harus diselesaikan
secara komprehensif dan dialog harus mempertegas komitmen integrasi Papua dalam
NKRI.Dalam seminar tersebut juga dihadiri oleh pembicara lain, yaitu Dr.
Adriana Elisabeth (Peneliti LIPI & Jaringan Damai Papua) dan Johni Jonathan
Numberi, M.Eng (Aktivis Papua dan Kandidat Doktor UI). ***
(Dani Prabowo)