Oktober 30, 2015

Prof. Dr. Muhammad A.S Hikam Jadi Narasumber Seminar Nasional Bertema "PAPUA ADALAH INDONESIA" Di FISIP UI DEPOK


Jakarta, RISALAHNU - Papua adalah bagian integral dari bangsa dan negara Indonesia. Memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Tapi hal ini berbeda dengan kondisi kesejahteraan rakyatnya. Dalam akhir orde baru hingga sekarang banyak konflik yang terjadi, baik konflik politik atau konflik agama. pemerintah pusat, berkali-kali juga menyelesaikan, tapi konflik tersebut selalu saja terjadi.
Menurut Prof. Dr. Muhammad A.S Hikam, pendekatan kebudayaan melalui toleransi dalam kehidupan keberagamaan dan  penguatan kebangsaan adalah langkah yang tepat sebagai strategi resolusi konflik di papua. Ini harus dilakukan karena pendekatan keamanan tidak akan efektif. Dan sudah terbukti dalam perkembangan sejarah penanganan konflik di Papua. Hal itu disampaikan dalam Seminar bertema “Papua adalah Indonesia” yang dilaksanakan  di Gedung AJS Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kamis, 29 Oktober 2015. Terkait Tolikara, Mantan Menristek era Gus Dur ini mengatakan, “Insiden Tolikara, tidak bisa dianggap sebagai pendindasan Kristen terhadap Islam. 


Pendekatan yang dapat dilakukan adalah legal formal. Penyebab konflik Torikara adalah miskomunikasi, polarisasi kaum pendatang dan penduduk asli.”Isu agama di Papua sama sekali tidak dianggap sebagai penyebab konflik yang telah terjadi selama ini. Sumber polarisasi yang lebih penting bukanlah agama, namun antara pendatang dan orang asli Papua.
Dari insiden Tolikara ini, pelajaran yang dapat diambil adalah, bahwa penanganan represif (kendatilegitimate) pada akhirnya tidak selalu efektif sebagai cara mengatasi dan menyelesaikankonflik masyarakat di Papua. melainkan harus menggunakan pendekatan dialog budaya. Nasionalisme dan dialog adalah bagian terpenting dalam pendekatan budaya. “Jangan menuntut Papua untuk nasionalis terhadap Indonesia, tapi the rest of Indonesian harus merasa memiliki Papua” tutur beliau.“landasan paling utamanya adalah penguatan bahwa Papua adalah bagian integral dari NKRI,  tanpa Papua tidak akan ada NKRI”, tegasnya.
Kemudian, menurut Narasumber yang lain Dr. Adriana Elisabeth memaparkan bahwa “Mengambil judul Papua dalam Rumah Indonesia. Papua masih memiliki banyak pelanggaran HAM dan kekerasan, contohnya adalah kerusuhan di Tolikara, penculikan 2 WNI di Papua Nugini, dan lain-lain. Selain itu masih banyak masalah pembangunan di Papua dan peminggiran orang asli Papua contohnya kasus PFTI & MIFEE. Pemerintah selama ini terlihat meng-understimate Papua. Mereka kira Papua adalah wilayah yang minim konflik dan hanya butuh uang. LIPI bersama dengan Jaringan Damai Papua (JDP) memperkenalkan satu pendekatan,yaitu dialog. Akar masalah di Papua yang di-research oleh tim LIPI yaitu: 1) Marginalisasi dan diskriminasi terhadap Papua, 2) Kegagalan pembangunan, 3) kekerasan politik dan pelanggaran HAM, dan 4) sejarah politik Papua.
Isu paling sensitive adalah sejarah politik Papua. Secara politik, Papua terhitung menjadi bagian NKRI, namun secara pembangunan ekonomi, pendidikan, dll Papua masih terkesan dikesampingkan. Oleh karena itu, kebanyakan masyarakat Papua merasa “untuk apa kami dipertahankan?”.
Salah satu akar masalah kemanusiaan di Papua adalah persepsi atas martabat Papua oleh warga Indonesia serta pengakuan eksistensi Papua. Bagaimana pemerintah bisa mengaku sudah melakukan pembangunan merata jika kenyataannya masih banyak fasilitas yang kurang memadai di sekolah, universitas, dan rumah sakit di Papua. Banyak generasi muda Papua yang tidak bisa hidup karena ibunya pun kurang sehat, hal ini dikarenakan tidak mencapainya rumah sakit hingga ke pelosok Papua. Masalah lainnya adalah tanah yang dirampas, padahal sejatinya tanah adalah pemberian Tuhan dan bukan komoditi untuk diperdagangkan.
Strategi dan solusi ke depannya untuk Papua adalah dengan mengubah mindset diskriminatif pada diri kita. “Kenapa tidak presiden Indonesia berasal dari Papua? Apa salahnya jika orang Papua menjadi presiden?” tuturnya. Kita juga harus menghargai martabat orang Papua. Jika masih ada orang Papua yang berusaha untuk melepaskan diri, selama itu pula NKRI masih belum bersatu. Papua harus merasa home sweet home di Indonesia.
Dalam kesempatan ini ada pertanyaan dari salah satu peserta bernama Astrid, Biologi FMIPA UI mengenai Masyarakat Papua yang masih diremehkan dan menurut saya pribadi hal tsb disebabkan karena belum adanya upaya yang massif untuk menyadarkan masyarakat awam tentang konflik Papua dan eksistensi Papua. Menurut saya, masyarakat Papua butuh media yang dapat menyebarkan masalah Papua yang bukan hanya keterbelakangan infrastruktur, melainkan masalah kemanusiaan. Kalau memang Papua harus diakui masyarakat, ajaklah masyarakat untuk mengakui dan menghargai martabat mereka. Secara umum, saya mendapat insight baru bahwa isu Papua adalah isu yang sangat krusial, bukan hanya konflik antara mayoritas dan minoritas. Dijawab oleh Dr. Adriana Elisabeth: Dengan media sosial, tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Selain itu dibutuhkan public awareness pada masyarakat atas konflik Papua.
Selanjutnya Narasumber berikutnya seorang Aktivis Papua Jhoni Jonathan Numberi, M.Eng memaparkan sejarah terbentuknya Papua menjadi NKRI. Setelah itu, dipaparkan tentang masuknya agama di Papua. Islam masuk di Papua bagian barat pada abad 16 dan Kristen masuk di Papua pada abad 18. Sebelum sumpah pemuda, sekolah sudah ada di Papua dengan pengajaran menggunakan bahasa Indonesia. Papua masih belum terlepas dari pengaruh Ternate dan Tidore. Beliau memaparkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan implementasinya. Undang-undang ini dibuat dalam rangka mewujudkan cita-cita bersatunya NKRI. Ia juga menjelaskan Amanat UU Otsus no.21 tahun 2001 tentang Pendidikan Pasal 56 ayat 1, 3, dan 6.
Papua memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang tidak padat, seharusnya Papua bisa di-handle oleh pemerintah. Papua memiliki sumber daya alam yang melimpah. Papua juga memiliki tingkat variasi fauna yang tinggi.  
Kesimpulannya adalah Papua memerlukan pengakuan dan perlindungan terhadap HAM dan pemerataan pembangunan.
Kesimpulannya adalah konflik Papua harus diselesaikan secara komprehensif dan dialog harus mempertegas komitmen integrasi Papua dalam NKRI.Dalam seminar tersebut juga dihadiri oleh pembicara lain, yaitu Dr. Adriana Elisabeth (Peneliti LIPI & Jaringan Damai Papua) dan Johni Jonathan Numberi, M.Eng (Aktivis Papua dan Kandidat Doktor UI). ***
(Dani Prabowo)